statistik

Blogger Mobile

Powered By Blogger

Sabtu, 13 Agustus 2011

FOKUS: Apakah Merger Solusi Terbaik???

PSSI sedang menggodok formula terbaik untuk Kompetisi Superliga Indonesia (ISL) dan Liga Primer Indonesia (LPI). Opsi peleburan atau merger antara Superliga dan LPI mencuat, dan kini menjaditrending topic. Pro dan kontra soal ini terus bergulir. PSSI sendiri dinilai jangan terlalu memaksakan LPI masuk dalam Superliga, dan sebaiknya membuat regulasi terbaik tentang tim-tim Superliga harus berbadan hukum.

Hal ini dikatakan pengamat sepakbola di Medan, Rahmad Nur Lubis. Dia memaparkan, daripada memikirkan untuk memerger klub, sebaiknya langkah awal PSSI adalah mengeluarkan regulasi tim Superliga harus berbadan hukum. Sebab dia menilai, badan hukum jadi pijakan setiap klub untuk berlaku profesional layaknya perusahaan. Undang-undang PT dan kepailitan bisa diberlakukan kepada klub.

"Jika klub tidak mau berbadan hukum, PSSI lewat badan liganya bisa mengeluarkan regulasi menurunkan tim itu ke Divisi II yang amatir.  Ketika klub telah berbadan hukum, PSSI lewat badan liganya tak bisa turut campur ke internal klub, kecuali klub itu dinyatakan pailit," ujarnya, Senin (18/7).

Klub bisa dinyatakan pailit, lanjutnya,  jika pengurusnya mengajukan pailit ke pengadilan, atau memenuhi syarat pailit berdasar UU Kepailitan. Klub bisa dinyatakan pailit jika nunggak gaji pemainnya hingga dua bulan, menilik kpd Pasal 2 ayat (1) UU 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. "Dengan begitu, pemain dalam klub liga indonesia bisa disejajarkan dengan kreditur sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan. Ini untuk menjamin nasib pemain. Pemain liga layak disebut kreditur karena mempunyai piutang sebagai akibat dari perjanjian antara dirinya dan pengurus badan hukum (klub)," tuturnya.

"Berarti, sekumpulan pemain boleh mengajukan permohonan pailit terhadap klubnya untuk menjamin pemenuhan gaji dan hak-haknya. Untuk itu, dalam badan liga harus ada sub-penyelamatan klub pailit, semacam BPPN di Perbankan. Di sini dibahas cara penanganan tim yang pailit," timpalnya.

Mantan jurnalis olahraga ini menegaskan, musim 2011/12 ini, PSSI tidak bisa memaksakan semua klub harus serta merta profesional. Karena memang belum ada regulasi yang mengikat untuk itu. "Musim ini menjadi pondasi awal meletakkan dasar-dasar profesionalisme sembari memberlakukan regulasi secara perlahan, terutama soal badan hukum. APBD untuk klub memang tidak bagus, tapi jangan mengira tim tanpa APBD pasti profesional. Ingat tim Galatama yang banyak mati karena tanpa pondasi yang kuat," ungkapnya.

Lalu bagaimana nasib tim LPI? "Silakan ada, sepanjang ikut regulasi berupa badan hukum, dan ketentuan universal harus tetap berlaku buatnya. Ketentuan universal liga profesional apa? Tak ada tim yang ujuk-ujuk langsung masuk ke liga level tertinggi. Proses berjenjang harus berlaku. Liverpool saja mengawali kiprahnya di English Premier League (EPL) lewat jalur Lancashire League sebelum akhirnya bergabung dengan Divisi II Liga Inggris.  Biarkan klub Superliga sekarang di levelnya.  Sepuluh  besar LPI boleh di Divisi Utama dan Satu. sisanya tahu dirilah, karena jujur saja mereka sulit mandiri," tegasnya.

"Nah, yang sembilan tim lainnya, enggak usah dipaksakan. Karena faktanya penonton sedikit. Kenapa mesti dipaksakan harus berjalan satu musim," timpalnya.

Rahmad mengungkapkan, kata kuncinya adalah seluruh klub Superliga, Divisi Utama, dan Satu harus berbentuk badan hukum dulu. Biarkan mereka urus rumah tangganya sendiri.  "Terlepas dari itu, saya ingin sekadar mengingatkan, timnas Indonesia berprestasi justru saat belum ada jargon profesionalisme. Itu artinya, liga dan sepakbola Indonesia sebenarnya punya karakteristik tersendiri. Jangan rusak itu dengan jargon-jargon profesionalisme yang semu. Jangan bicara soal merger kalau belum membaca UU Perseroan Terbatas dan UU Kepailitan. Bicara merger berarti bicara perusahaan berbadan hukum. Jadi, sangat rancu berbicara merger jika klub belum berbadan hukum. Itu bukan merger namanya, tapi kudeta! Klub berbadan hukum yang bisa dimerger adalah klub berbadan hukum yang salah satunya dipailitkan pengadilan. Jika tidak, merger sama dengan penyitaan," bebernya.

"Dan saat ini masih sedikit klub yang punya badan hukum, di antaranya Arema, Persib. Makanya PSSI perlu menyusun regulasi itu dulu," tegasnya.

Dia juga mengimbau, jangan memaksakan profesionalisme dalam satu malam dengan memberangus keseluruhan, sebab nanti penilaiannya menjadi subjektif. "Jangan bicara klub profesionalisme hanya karena tanpa APBD. Dan bukan semua klub LPI profesional. Apakah semua klub-klub LPI punya homebase, latihan dimana. Contoh saja Bintang Medan, latihan juga masih di Kebun Bunga (milik PSMS). Dalam LPI yang bisa digunakan silahkan adopsi, tapi tidak harus merger. Apakah misalnya, PSMS harus digabung dengan Bintang Medan, hargai dulu pemilik 40 klub di bawah PSMS," tuturnya.

Rahmad mengatakan, setuju dengan Dhojar Arifin Husein soal tim berjenjang, dan sedikit kembali ke jaman perserikatan. "Kita juga harus lihat sejarah, dari Galatama ke Perserikatan butuh waktu. PSSI sebaiknya fokus ISL, lupakan LPI, anggap saja LPI alat untuk mendapatkan kekuasaan dan sudah terbukti. Dan ke depan, pelan-pelan menyusun regulasi untuk dasar kompetisi sepakbola yang kuat," pungkasnya.

dikutip dari : www.goal.com